| Catatan Settia

Wednesday, July 12, 2023

Makna dan Nilai Perjalanan Haji, Napak Tilas Perjalanan Haji KH. Maimoen Zubair Bagian 2

 


🍨 Tiga Dimensi Kemabruran Haji 🍨

Dalam melaksanakan ibadah haji, mabrur adalah satu-satunya harapan semua hujjaj, yakni hajinya menjadi haji yang diterima oleh Allah yang membawa berkah untuk seluruh makhluk. Itu akan dapat dilihat dan dirasakan sekembali dari menunaikan ibadah yang ditandai oleh adanya perubahan perilaku.

Berbagai ritual haji harus dilaksanakan dengan serius dan sungguh-sungguh untuk meraih predikat mabrur, dan kemabruran haji akan tersempurnakan manakala aktivitas ketaatan dan kesolehan saat di Haramain dan terutama di Arafah teraplikasi di tanah air, sekembali dari menunaikan ibadah haji.

Kemabruran yang dimaksud di atas bagi para hujjaj sebagai buah dari ritual di Arafah dan Haramain akan dapat dilihat dari tiga indikasi: Pertama , diterima amalannya oleh Allah yang dicirikan dengan adanya perubahan positif dalam rutinitas ibadahnya, perubahan positif dalam ketaatan, dan perubahan positif dalam disiplin ibadahnya.

Kedua, diterima oleh sesama manusia yang ditandai dengan perubahan perilaku sosial yang membuat orang di sekitarnya tidak tersakiti, baik fisik maupun psikis. Hubungan sosial dan perilaku sosial semakin baik, dan komunikasi sosial semakin arif dan bijaksana.

Ketiga , diterima oleh diri para hujjaj sendiri yang ditandai dengan tidak menggunjing perilaku dan sikap orang lain yang disaksikannya selama di Tanah Haram, tidak membandingkan nilai dan volume ibadahnya dengan ibadah orang lain, tidak merasa ibadahnya jelek maupun paling bagus dibanding ibadah orang lain.

"Inti dari mabrur itu adalah telah nampak keikhlasan didalam beribadah kepada Allah yang ditandai dengan sikap tawaddhu’ dan rendah hati."


🍹Arafah : Replika Hari Akhir 127864🍹

Wuquf dengan pakaian ihram berwarna putih yang melekat selama prosesi di Arafah mengingatkan kita semua pada satu titik akhir dari kehidupan manusia, yakni kematian.

Bagaimana tidak? Pada saat itu kita telah diwajibkan mengenakan pakaian kematian, dan begitu sampai di Arafah seluas mata memandang kita saksikan jutaan manusia yang berhamburan dengan pakaian serba putih, persis seperti baru dibangkitkan dari kubur dengan nuansa bimbang dan cemas mencari kenyamanan sambil kebingungan setelah bangkit dari tidur yang panjang.

Setelah itu para hujjaj memasuki tenda masing-masing seperti proses pemisahan manusia berdasarkan keputusan dari amal perbuatan yang didapatkan dari Hakim Yang Maha Kuasa.

Di dalam tenda masing-masing para hujjaj berdiam, merenung, membaca diri, dan menunggu kepastian keputusan berikutnya. Dalam berdiam itulah kita melihat berbagai macam situasi manusia, ada yang resah, ada yang kepanasan, ada yang bimbang, ada yang nyenyak dalam istirahatnya, ada yang tawadhu’, ada yang beristigfar, ada yang khidmat, dan sebagainya. Begitulah kira-kira gambaran manusia di hari penantiannya. Menanti kepastian nasib dari pengadilan Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Obyektif.

Wednesday, July 27, 2016

Makna dan Nilai Perjalanan Haji, Napak Tilas Perjalanan Haji KH. Maimoen Zubair


••••✥ Kasih Orang Tua Sepanjang Jalan ✥••••

Panggilan berhaji bagi seorang Muslim adalah panggilan yang sangat membahagiakan. Begitu kuota tahun keberangkatan dikeluarkan pemerintah dan ada sepenggal nama yang sangat kita kenal (yakni nama kita sendiri) muncul, sungguh kebahagiaan yang tiada tara tiba-tiba terasa. Rasa syukur kepada Yang Kuasa otomatis terbetik dalam hati, dalam pikiran, dalam asa, bahkan lewat lisan dan perilaku yang tiba-tiba berbinar-binar. 

Mulailah kita mencari tahu tentang jadwal keberangkatan. Bulan apa, tinggal berapa hari, bahkan jamnya pun kita cari tahu.

Minggu demi minggu, hari demi hari menunggu kepastian jadwal, tiba-tiba jadwal keberangkatan tinggal beberapa minggu lagi. Kita mulai memikirkan untuk mengundang karib kerabat dan handai taulan untuk memohon do'a agar prosesi yang akan kita laksanakan dimudahkan oleh Yang Kuasa.

Tidak terasa jadwal keberangkatan itu pun tinggal beberapa hari lagi. Kebahagiaan yang sudah terasa sejak diumumkan kuota,  berubah menjadi sedih yang luar biasa mendalam tatkala menyaksikan buah hati yang masih berusia belia.

Si bungsu setiap hari protes; kenapa sih haji..?  Haji jelek… dan sebagainya. Terkadang bertanya, ayah dan ibu kapan berangkat?...  Berapa hari di sana…? Kami berusaha menjawabnya dengan tenang sekalipun hati sangat gundah karena kesedihan. Pertanyaan tidak selesai sampai di situ. Kenapa lama sekali…? Apa yang dikerjakan di sana…? Dan seterusnya.

Kami berusaha menghibur dengan cerita-cerita yang menggembirakan mereka, akan tetapi menatap mereka selepas shalat magrib bergumul bertiga, bercanda… kami ayah dan  ibunya tidak dapat menahan kesedihan, air mata tiba-tiba tumpah membayangkan mereka akan kami tinggal selama 40 hari dan mereka hanya bersama bibinya (pembantu).

Kesedihan semakin bertambah tatkala malam keberangkatan tiba… Kami menatap tidur lelap mereka, sementara kami tidak bisa memejamkan mata, semua bayangan yang tidak-tidak mulai menghantui yang membuat kami sangat sedih. Kesedihan memuncak tatkala hari H keberangkatan, mereka kami cium dengan perasaan sedih yang mendalam seakan-akan kami tidak akan bertemu mereka lagi. Kepada si Sulung ayah berpesan…  Jangan ganggu adiknya, abang sebagai pelindung adik-adiknya, abang sebagai contoh buat adik-adiknya, abang yang jaga adik-adiknya. Ayah juga menitip berkas-berkas penting yang harus Abang jaga jika terjadi sesuatu yang mengganggu keamanan rumah… (Sambil ayahnya menunjuk tiga buah map yang sudah diamankan).

 "Di depan pintu, bersama air mata yang tidak terbendung kami membaca do'a musafir sambil menatap mereka mendengar omongan mereka… melihat bagaimana mereka yang menatap tanpa beban…"

Dalam perjalanan… dalam shalat… dalam do'a selama di embarkasi (Asrama haji) wajah mereka selalu kelihatan, bagaimana dia pulang sekolah, bagaimana dia pulang main, dan bagaimana mereka berangkat ke tempat tidur. Perotes-perotes si bungsu terbayang terus sampai di tangga pesawat.

Begitu pesawat meninggalkan landasan, kami memasrahkan semuanya kepada Yang Kuasa. Kami titip anak-anak kepada-Nya yang sebaik-baik tempat menitip. Kami titip raga mereka, kesehatan mereka, keamanan mereka, dan kami titip pula keselamatan mereka selama kami tidak menemani mereka.

Sejak saat pesawat mengudara, kami menyadari keterbatasan yang kami miliki. Kami tidak lagi memiliki kemampuan terhadap keadaan mereka. Hanya do'a dan kepasrahan yang ikhlas kami panjatkan kepada-Nya dengan mata sembab bahwa hanya Engkau, ya Allah satu-satunya tumpuan harapan kami.


•••• 🥯 Kutitip Engkau dalam Ridho Ilahi 🥯 ••••

Sesampai di Bandara Jeddah pada tengah malam, kami bergegas mencari tempat bersuci untuk mandi, untuk berwudhu’ lalu kami shalat jama’ qashar Isya’ dan Maghrib, kemudian shalat sunnah untuk ihram dan melakukan Miqat. Di kegelapan malam, bus yang kami tumpangi mulai merangkak berjalan menuju Mekkah Al Mukarramah sambil semua calon hujjaj melafalkan talbiyah sebagai pernyataan kesungguhan kami memenuhi panggilan Allah SWT.