Catatan Settia: Makna dan Nilai Perjalanan Haji, Napak Tilas Perjalanan Haji KH. Maimoen Zubair

Wednesday, July 27, 2016

Makna dan Nilai Perjalanan Haji, Napak Tilas Perjalanan Haji KH. Maimoen Zubair


••••✥ Kasih Orang Tua Sepanjang Jalan ✥••••

Panggilan berhaji bagi seorang Muslim adalah panggilan yang sangat membahagiakan. Begitu kuota tahun keberangkatan dikeluarkan pemerintah dan ada sepenggal nama yang sangat kita kenal (yakni nama kita sendiri) muncul, sungguh kebahagiaan yang tiada tara tiba-tiba terasa. Rasa syukur kepada Yang Kuasa otomatis terbetik dalam hati, dalam pikiran, dalam asa, bahkan lewat lisan dan perilaku yang tiba-tiba berbinar-binar. 

Mulailah kita mencari tahu tentang jadwal keberangkatan. Bulan apa, tinggal berapa hari, bahkan jamnya pun kita cari tahu.

Minggu demi minggu, hari demi hari menunggu kepastian jadwal, tiba-tiba jadwal keberangkatan tinggal beberapa minggu lagi. Kita mulai memikirkan untuk mengundang karib kerabat dan handai taulan untuk memohon do'a agar prosesi yang akan kita laksanakan dimudahkan oleh Yang Kuasa.

Tidak terasa jadwal keberangkatan itu pun tinggal beberapa hari lagi. Kebahagiaan yang sudah terasa sejak diumumkan kuota,  berubah menjadi sedih yang luar biasa mendalam tatkala menyaksikan buah hati yang masih berusia belia.

Si bungsu setiap hari protes; kenapa sih haji..?  Haji jelek… dan sebagainya. Terkadang bertanya, ayah dan ibu kapan berangkat?...  Berapa hari di sana…? Kami berusaha menjawabnya dengan tenang sekalipun hati sangat gundah karena kesedihan. Pertanyaan tidak selesai sampai di situ. Kenapa lama sekali…? Apa yang dikerjakan di sana…? Dan seterusnya.

Kami berusaha menghibur dengan cerita-cerita yang menggembirakan mereka, akan tetapi menatap mereka selepas shalat magrib bergumul bertiga, bercanda… kami ayah dan  ibunya tidak dapat menahan kesedihan, air mata tiba-tiba tumpah membayangkan mereka akan kami tinggal selama 40 hari dan mereka hanya bersama bibinya (pembantu).

Kesedihan semakin bertambah tatkala malam keberangkatan tiba… Kami menatap tidur lelap mereka, sementara kami tidak bisa memejamkan mata, semua bayangan yang tidak-tidak mulai menghantui yang membuat kami sangat sedih. Kesedihan memuncak tatkala hari H keberangkatan, mereka kami cium dengan perasaan sedih yang mendalam seakan-akan kami tidak akan bertemu mereka lagi. Kepada si Sulung ayah berpesan…  Jangan ganggu adiknya, abang sebagai pelindung adik-adiknya, abang sebagai contoh buat adik-adiknya, abang yang jaga adik-adiknya. Ayah juga menitip berkas-berkas penting yang harus Abang jaga jika terjadi sesuatu yang mengganggu keamanan rumah… (Sambil ayahnya menunjuk tiga buah map yang sudah diamankan).

 "Di depan pintu, bersama air mata yang tidak terbendung kami membaca do'a musafir sambil menatap mereka mendengar omongan mereka… melihat bagaimana mereka yang menatap tanpa beban…"

Dalam perjalanan… dalam shalat… dalam do'a selama di embarkasi (Asrama haji) wajah mereka selalu kelihatan, bagaimana dia pulang sekolah, bagaimana dia pulang main, dan bagaimana mereka berangkat ke tempat tidur. Perotes-perotes si bungsu terbayang terus sampai di tangga pesawat.

Begitu pesawat meninggalkan landasan, kami memasrahkan semuanya kepada Yang Kuasa. Kami titip anak-anak kepada-Nya yang sebaik-baik tempat menitip. Kami titip raga mereka, kesehatan mereka, keamanan mereka, dan kami titip pula keselamatan mereka selama kami tidak menemani mereka.

Sejak saat pesawat mengudara, kami menyadari keterbatasan yang kami miliki. Kami tidak lagi memiliki kemampuan terhadap keadaan mereka. Hanya do'a dan kepasrahan yang ikhlas kami panjatkan kepada-Nya dengan mata sembab bahwa hanya Engkau, ya Allah satu-satunya tumpuan harapan kami.


•••• 🥯 Kutitip Engkau dalam Ridho Ilahi 🥯 ••••

Sesampai di Bandara Jeddah pada tengah malam, kami bergegas mencari tempat bersuci untuk mandi, untuk berwudhu’ lalu kami shalat jama’ qashar Isya’ dan Maghrib, kemudian shalat sunnah untuk ihram dan melakukan Miqat. Di kegelapan malam, bus yang kami tumpangi mulai merangkak berjalan menuju Mekkah Al Mukarramah sambil semua calon hujjaj melafalkan talbiyah sebagai pernyataan kesungguhan kami memenuhi panggilan Allah SWT.

Kami semua bersedih saat talbiyah kami lafalkan. Betapa kami datang dari tempat yang sangat jauh, meninggalkan semua yang ada di sekeliling kami termasuk anak-anak kami demi menuju Ridho Tuhan.

Dengan memakai dua helai pakaian ihram putih-putih kami ber-talbiyah di tengah-tengah rasa kantuk, rasa capek, dan rasa sedih, lusuh sampai suara kami semua parau… Itulah hari pertama kami menginjakkan kaki di bumi Arab. Begitu bus yang kami tumpangi melaju dalam gelap malam, wajah anak-anak yang biasa kami antar untuk tidur terbayang lagi, biasanya kami antar dengan cerita-cerita hikmah hingga mereka terlelap dalam tidurnya. Kali ini kami sangat jauh dari mereka dan ini adalah kepergian yang paling berat dalam meninggalkan mereka. Selama 40 hari kami tidak mungkin akan bisa mencuri waktu untuk bertemu mereka.

Di sinilah kami merasa sangat egois, meninggalkan mereka (anak-anak) hanya bersama bibinya (Pembantu)--karena mungkin mereka masih sangat kecil. Kami menjauh dari mereka selama 40 hari, kami hanya mampu meniitip mereka dalam ridho Tuhan untuk tetap dijaga… dilindungi… dijauhkan dari marabahaya… didekap dalam ketenengan… Agar mereka tetap aman, tetap tenang, dan tetap sehat.

Do'a ini kami untai sepanjang perjalanan menuju Mekkah. Terbayang 39 hari lagi harus kami hadapi untuk tidak bertemu mereka. Semoga mereka tetap aman, sehat, dan tenang dalam lindungan Yang Kuasa. Labbaik Allahumma Labbaik


🌼 Para Pencari Tuhan🌼

Dengan cemas dan berdebar-debar kami menuju Masjid mulia Al- Haram dengan pakaian ihram dua helai. Kami telusuri jalan menuju Al-Haram dengan pemandangan gunung batu dan terowongan panjang menembus gunung yang melintasi kota dan perkampungan Arab. Kami sampai di terminal Syib Amir kurang lebih setengah kilo perjalanan lagi menuju Masjidil Haram. Di sana kami merasa bangga menjadi umat Muslim karena pemandangan dari Syib Amir menuju al-Haram seperti lautan manusia, seperti iringan semut mengerumuni gula. Sungguh pemandangan yang tidak pernah tersaksikan sebelumnya dalam hidup ini. Begitu banyaknya manusia-manusia yang datang dari berbagai penjuru bumi memenuhi undangan Tuhannya. Kami akhirnya masuk dalam kerumunan para manusia pencari Tuhan menuju Baitil Atiq di Masjidil Haram.

Masjid yang selama ini menjadi kebanggaan umat Muslim saat ini terlihat anggun, gagah dan menggoda untuk ditatap. Sampailah kami di Babussalam, lalu kami menelusuri lorong-lorong masjid dan shaf-shaf shalat yang masih tersisa (kebetulan kami memasuki masjid selepas Shalat Subuh), keinginan untuk melihat Baitil Atiq (Ka’bah)  semakin menggebu-gebu.

Akhirnya, Baitil Atiq itu nampak dan begitu besahaja dan ramah. Kami meneteskan air mata begitu pandangan tertuju kepadanya. Sungguh sangat anggun, ada kebesaran yang tidak mampu ditembus, hanya getaran hati dan rasa takjub yang diiringi tetesan air mata. Rumah Allah yang selama ini kita arahkan diri tatkala memuji-Nya, saat ini sangat dekat. Terbayang kalau bukan karena kemurahan Allah, kita tidak akan pernah bisa mendekat ke Baitil Atiq, karena kita datang dengan kemampuan yang apa adanya, baik dari finansial maupun pemahaman.

” Kalau bukan karena kemurahan Allah, kita tidak akan pernah bisa mendekat ke Baitil Atiq.

Semakin ditatap, ambisi untuk mendekati Baitil Atiq itu semakin menggebu-gebu. Subhanallah…  Maha Besar Engkau, ya Allah. Rumah-Mu yang anggun telah berada di hadapan kami, putaran manusia mengelilinginya begitu rapi dan khidmat—konon putaran itu tidak pernah terhenti hatta satu detik pun, kecuali Allah yang menghentikannya melalui panggilan shalat.

Karena ambisi yang menggebu-gebu, kami ikut masuk dalam putaran massa memulai Thawaf Umrah yang wajib dilaksanakan. Sesekali dalam putaran itu kami menatap keanggunan Baitil Atiq, sambil bersyukur kehadirat-Nya atas ijin-Nya kami dapat hadir dan ikut memutar dalam putaran waktu.

Kelelahan dan lusuhnya kami setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang, seketika hilang, lebur dan rontok bersama ambisi untuk berputar. Kami menjadi bertenaga, menjadi ber-energi, menjadi bersemangat, dan menjadi tidak pernah lelah. Allah menggantinya dengan kenikmatan yang tiada tara, Dia menjamu hamba-Nya dengan hidangan kenikmatan, kenikmatan yang dapat melupakan segala yang memberatkan pikiran, perasaan, dan hati.


🏵 Baitil Atiq Yang Memesona 🏵

Baitil Atiq adalah rumah tua yang dibangun oleh Bapaknya Tauhid (Ibrahim AS.) bersama putranya Ismail AS. berdiri dengan anggun dan memesona bagi siapa pun yang memandangnya dengan iman. Begitu bersahaja tetapi sangat menakjubkan.
"Kesan yang indah tidak bisa dibahasakan dengan lisan, namun mata terasa tidak ingin berpaling darinya. Entah apa yang dikandung oleh rumah tua itu, begitu menarik untuk ditatap, begitu nikmat untuk dipandang dan begitu bahagia untuk didekati."

  Kesan yang indah tak dapat dibahasakan dengan lisan, namun mata terasa tak ingin berpaling darinya. Entah apa yang dikandung oleh rumah tua itu, begitu menarik untuk ditatap, begitu nikmat untuk dipandang dan begitu bahagia untuk didekati.

Kesan itu akan dirasakan oleh siapa saja yang datang memenuhi undangan Tuhannya. Ada daya tarik yang tidak nampak, tetapi cukup terasa di hati, begitu memikat dan membuat para penikmatnya jatuh hati yang sangat mendalam, sesak rasanya relung hati bila menatapnya dalam waktu yang cukup lama. Jika ditelisik dengan saksama—ada daya tarik yang tidak terkuak, bahkan tekateki daya tarik itu sering terjawab dengan linangan air mata yang tak disadari oleh para penikmatnya.

Rasa takjub campur heran adalah menjadi kesan yang setiap saat dirasakan, sehingga tidak sedikit para tamu Allah yang hadir di pelataran Baitil Atiq itu menjadi bingung terhadap perasaannya sendiri tatkala memandang keanggunan baitil atiq, sungguh bangga rasanya menyaksikan kekokohannya dengan ribuan manusia memutar di sekelilingnya. Bismillahi Allahu Akbar.


❀ Bangga Menjadi Umat Islam ❀

Di tengah keramaian manusia-manusia pencari Tuhan dengan wajah ikhlas, wajah teduh, wajah tawakkal… Kami tenggelam dalam kerumunan massa dengan ambisi yang sama, berdesak-desakan, ber-himpitan, bahkan terjepit. Tetapi kita harus bangga, tidak ada event yang dapat mengumpulkan manusia dalam jumlah yang sangat besar secara masif, berjubeljubel, berebutan dengan maksud yang sama—ingin mendekat kepada Tuhan.
" Ternyata umat Muslim yang taat itu sangat banyak jumlahnya. Sekalipun nuansa berdesak-desakan, tetapi tidak ada yang kesal, semuanya ikhlas dan nikmat."

Kondisi yang tidak umum kita saksikan dan ikuti selama hidup, sungguh membuat kita sangat nikmat dan bangga. Ternyata umat Muslim yang taat itu sangat banyak jumlahnya. Sekalipun nuansa berdesak-desakan, tetapi tidak ada yang kesal, semuanya ikhlas dan nikmat. Sekalipun berjubel, tidak ada rasa terpaksa, tetapi semakin timbul ambisi untuk ikut bergabung dalam kerumunan Tauhid. Sekalipun berhimpitan, tidak ada yang kecewa, padahal tidak mendapat tempat yang teduh, yang nyaman, yang longgar--yang ada hanya kepuasan. Sekalipun terjepit dan berkerumun dalam waktu yang panjang, tidak ada yang merasa lelah dan lapar, rongga lambung yang biasanya memantulkan rasa lapar, terasa penuh oleh kenikmatan beribadah yang tidak mampu diurai dengan bahasa verbal.


✺ Syu'uban Wa Qabaila ✺

Melempar pandangan ke seantero penjuru Masjidil Haram, ada kesan yang sunggguh sangat menakjub- kan. Jutaan manusia dari berbagai suku dan bangsa begitu indah untuk kita tatap. Rupa wajah beraneka parasnya membuat pemandangan yang menyadarkan bahwa umat Is- lam itu ternyata dari seluruh negeri.

Memperhatikan sikap dan perilaku ibadah dari kumpulan umat Muslim itu, kita dapat saksikan perilaku ibadah yang banyak ragamnya. Kita disadarkan bahwa Allah begitu bijaksana menerima perbedaan ibadah hamba-Nya.

"Allah memang mengenalkan diri-Nya lewat perbedaan dan macam-macam rupa kreativitas hamba-Nya."

Berhimpun sambil mendengar, mengamati komunikasi orang di sekeliling kita, membuat kita sadar bahwa karakter masing-masing manusia sangat berbeda-beda; ada yang tawaddhu’, ada yang emosional, ada yang lemah lembut, ada yang tegas, ada yang hanya senyum, dan banyak lagi yang lain.

Mengamati busana yang melapisi dan menutup aurat, di sanalah kita menemukan mode dan kekhasan busana Muslim dari berbagai negeri. Sekalipun busana itu lusuh, tetapi nampak kekhasan masing-masing yang membuat kita takjub betapa Allah itu sangat kreatif menaruh bermacam-macam kemampuan berkreasi dalam tubuh hamba-Nya.

Begitu kita istirahat sejenak dan keluar dari kerumunan Tauhid, terasa dalam rongga perut menuntut untuk harus makan. Ternyata makanan pun bermacam-macam rupanya dan bermacam-macam rasanya; dari tekstur  yang keras, yang kenyal, yang kering, sampai kepada yang berbumbu dan berminyak menjadi asupan energi yang lezat.

Di sinilah ketauhidan itu tertempa dengan mendalam lagi… Allah memang mengenalkan diri-Nya lewat perbedaan dan macam-macam rupa kreativitas hamba-Nya.


••••❁ Tuhan Maha Kreatif ❁••••

Dalam kerumunan manusia yang jumlahnya berjuta-juta itu, tiba-tiba terbesit dalam asa untuk menatap dan memandang mereka semuanya dengan pandangan mendalam, satu persatu, secara seksama, dan teliti. Subhanallah, sungguh ketakjuban yang luar biasa muncul dalam hati, dalam pikiran, dan lewat lisan, betapa Allah itu Maha Kreatif, Maha Hati-hati, dan Maha Teliti.

Ternyata dari berjuta-juta manusia itu tidak satupun dari mereka yang sama rupanya, tidak ada yang copy paste, semuanya orisinil. Sungguh penciptaan yang luar biasa, Dia tidak alpa terhadap bentuk hidung, tidak alpa terhadap bentuk mata, tidak alpa terhadap wajah, tidak alpa terhadap tubuh.

" Jika Allah pernah lalai sedetik saja, alangkah banyaknya rupa manusia yang sama, karena dalam hitungan satu detik saja, berapa manusia yang lahir dari rahim ibunya."

Di sinilah ketakjuban muncul lagi. Dalam penciptaan makhluk, Allah tidak mengenal copy paste. Dia mencipta perbedaan itu dengan amat sempurna, tidak mengenal keliru, tidak mengenal alpa. Bayangkan dengan kreativitas pada manusia, jangankan dalam jumlah juta, dalam jumlah ratus saja, pasti bingung mencipta yang tidak sama. Semakin kita tatap manusia-manusia itu semakin kita menyadari betapa Allah itu sang pencipta yang amat sempurna. Tabarakallahu ahsanal khaliqun.


••••💮 Putaran Energi 💮••••

Berputar sebanyak tujuh kali putaran di sekeliling Baitil Atiq adalah pemandangan yang menyejukkan mata, pikiran, dan hati. Begitu rapi, teratur, dan indah. Tidak satu pun dari ribuan bahkan jutaan manusia itu yang ingin bahkan rela berputar melawan arah. Semua tunduk pada gerakan berputar yang sama.

Ada satu pertanyaan saat ikut terlibat dalam putaran itu. Sebelum melebur ke dalam putaran manusia di sekeliling Baitil Atiq, ada rasa lesu, lelah, ngantuk, dan lusuh di sekujur badan, karena aktivitas keseharian kita membutuhkan fisik yang siaga, akan tetapi begitu mendekat di sekitar putaran itu, kenapa energi terasa tiba-tiba datang. Kita kembali seperti tidak pernah lelah, tidak pernah lesu.

Dari putaran pertama, kedua, dan putaran berikutnya bukan malah melelahkan, akan tetapi dari putaran ke putaran sangat terasa tenaga disuntikkan oleh energi yang luar biasa. Sehingga semakin mendekati putaran ke tujuh, rasa lesu, lelah, ngantuk, dan lusuh itu ternyata berguguran di setiap putaran. Para penikmatnya menjadi segar, menjadi berenergi, bahkan menjadi lebih sehat. Barangkali di sumbu putaran itu Allah menaruh energi yang luar biasa yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga putaran itu bukan semakin melemah, akan tetapi sebaliknya setiap waktu, setiap saat, setiap hari kita dapat menyaksikan putarannya tetap bahkan jumlah manusianya semakin bertambah.

" Jadi putaran itu tidak mengenal kata berhenti, semakin berputar, energi terproduksi semakin banyak.

Sebagai efek dari energi yang banyak dan berkualitas, setiap penikmat dari putaran itu akan merasakan sangat sehat, sangat fresh, bahkan lebih tenang, lebih damai dan lebih segar.    


Menelusuri Jejak Rasulullah SAW

Jabal Nur, sebuah gunung yang menjadi pendakian kerasulan baginda Muhammad SAW. Di gunung yang terjal dan tinggi itulah Rasul mendaki untuk menjemput garis kehidupannya untuk menjadi utusan mulia Rabbul Alamin.

Dari kasat mata dapat disaksikan bahwa bentuk gunung yang terlihat seperti manusia bersujud itu sebenarnya dapat dijadikan alamat atau tanda kemuliaan, bahwa di sana akan terjadi sesuatu yang luar biasa. Tempat yang sangat tepat bagi Rasulullah untuk memasrahkan seluruh jiwa raganya kepada Tuhannya.

Ternyata di gunung batu yang berbentuk manusia sujud itu terdapat gua yang diberkahi oleh Allah SWT yang bernama Gua Hira’, di sini wahyu Allah (Alqur’an) bergema untuk pertama kalinya.

Jabal Tsur menjadi saksi dari perjalanan mulia baginda Rasul SAW tatkala berhijrah memperluas wilayah perjuangan Islam. Di lereng gunung inilah Rasul bersama shabat setianya melintas membesarkan nama Tuhannya untuk kemasyhuran Islam dan menenangkan diri di lubang rahasia yang bernama Gua Tsur,  menjadi saksi betapa beratnya perjalanan kenabian baginda Rasul SAW.

Jabal Uhud, gunung batu ketiga menjadi sangat bersejarah oleh karena Rasul yang mulia itu bersusah payah ikut mempertahankan agama Allah melalui pertempuran sengit yang menggugurkan paman tercinta Rasulullah, yakni Hamzah RA.

Gunung yang keempat, Jabal Rahmah, bertengger di samping tanah lapang “Arafah”  sebagai syahadah  terakhir bagi perjalanan panjang kerasulan Muhammad SAW. Di lokasi inilah Allah menutup seluruh ajaran yang hendak disebarkan oleh Muhammad SAW tatkala Haji Wada’.

"Allah telah menempatkan suatu rahasia yang tidak terkikis oleh masa, tidak lekang oleh panas, dan tidak hanyut oleh badai."

Memperhatikan tekstur dari keempat gunung yang tercatat dalam kebesaran sejarah Islam, tidak ada yang istimewa dalam pandangan manusia nisbi. Ternyata Allah telah menempatkan suatu rahasia yang tidak terkikis oleh masa, tidak lekang oleh panas, dan tidak hanyut oleh badai. Allah menoreh peristiwa amat luar biasa yang sangat indah untuk diceritakan dari generasi ke generasi sepanjang masa.


Mekkah yang KARAMAH

Kekeramatan mekkah pasti dialami oleh siapapun yang pernah singgah di sana, dan masing-masing orang akan mengalami kekeramatan yang berbeda-beda bentuknya. Ada yang mengalami bahwa apa yang terbetik dalam hati pasti akan menerima akibatnya. Ada yang mengkhayalkan sesuatu dan tiba-tiba yang dikhayalkan itu menjadi nyata. Bahkan kata-kata yang tidak pantas bila diucapkan, juga akan diterima akibatnya dalam waktu singkat.

"Kekeramatan Mekkah boleh jadi disebabkan oleh imbalan perbuatan, seperti satu kebaikan diba- las 100 ribu pahala, demikian seba- liknya satu kejahatan dibalas 100 ribu azab"

Subhanallah... Mekkah itu tanah dan negeri yang karamah. Bebera- pa kejadian aneh terjadi dengan nyata. Kita tidak pantas berkata, berbuat, dan berbisik tentang keadaan yang tidak nyaman, mungkin karena tamu Allah. Seperti kata Rasul  “Adh-Dhayif kal maut” (Tamu itu laksana orang mati: Dibawa ke mana saja, diapakan saja, diberikan apa saja.... Dia tidak berdaya). Mungkin itulah sebabnya bahwa kita tidak pantas untuk tidak nerimo, karena saat itu kita menjadi dhuyufullah  (tamu Allah).

Di samping itu, kekeramatan Mekkah boleh jadi disebabkan oleh imbalan perbuatan yang dikandung, seperti satu kebaikan dibalas 100 ribu pahala, demikian sebaliknya satu kejahatan dibalas 100 ribu azab, sehingga Allah menjaga hamba-Nya dengan perlakuan karamah Mekkah.

Dengan berbagai kejadian karamah itu pula para hujjaj menyadari betapa Allah itu sangat dekat dengan tamunya. Bahkan lebih dekat dari urat nadi (…Wa Nahnu aqrabu ilaihi min hablil warid), yang menyebabkan hamba-Nya merasa selalu diawasi, ditegur, dan dituntun, sehingga fokus ibadah itu menjadi sangat perioritas dibanding aktivitas yang lain.


•••💮 Senandung Nada Do'a 💮•••

Mekkah dengan Baitil Atiq dan Masjidil Haram juga Madinah dengan Makam Rasulullah SAW dan Raudhah adalah tumpahan segala doa. Jutaan manusia yang hadir di sana datang beserta segala doa. Tidak ada seorang pun yang hadir tanpa doa dan harapan.

” Allah itu Maha Menyimak beraneka ragam nada pujian dan doa yang teruntai. Tak ada yang tidak boleh, tak ada yang harus, dan tak ada yang tereliminasi… Semua alunan nada pujian dan doa itu pantas."

Di serambi Ka’bah, di putaran thawaf, di Multazam, di Hijir Ismail, dan di lorong sa’i teruntai segala macam doa dengan berbagai macam nada dan ekspresi disertai tumpahan air mata yang tidak terbendung. Jika kita coba simak dengan seksama, kita akan mendengar ribuan dan bahkan jutaan macam nada, dari yang merdu, sendu, sedih, emosi, sampai nada yang menggelora.

Semua macam nada itu lahir dari kekhusyu’an, kesedihan dan keikhlasan hati, seperti nyanyian dalam lomba paduan suara yang menampilkan kekhasan masing-masing. Sungguh pendengaran yang membanggakan, karena genderang telinga ini dipenuhi oleh suara puji-pujian dengan aneka ragam nada dan alunannya. Di sini kita disadarkan bahwa Allah itu Maha Menyimak beraneka ragam nada pujian dan doa yang teruntai. Tidak ada yang tidak boleh, tidak ada yang harus, tidak ada yang tereliminasi… Semua alunan nada pujian dan doa itu pantas.

Begitu pula di negeri dan kampungnya Rasulullah SAW., Madinah Al-Munawwarah, begitu masuk lorong Babusalam… Di hadapan Pusara Manusia Agung (Nabi Muhammad dan sahabatnya)… Di tanah Raudhah antara Pusara dan Mimbar Rasul teruntai lagi alunan doa dan pujian yang dibasahi air mata. Pujian dan do'a yang beraneka ragam alunannya terdengar lagi. Yang berbeda dari puji-pujian di Mekkah hanya salam dan ta’zim kepada baginda Rasulillah SAW. yang terucap di tengah kerumuman manusia yang menyatakan cinta dan rindu yang teramat dalam. Manusia yang dimuliakan Allah dan seluruh makhluk telah berbaring dekat sekali dengan para peziarah. Semakin didekati terbayang seluruh sirah perjuangan beliau di tanah tandus dan terjal dengan karakter manusia yang menghuninya dalam kejahiliahan budaya. Bayang-bayang itulah yang memeras pori-pori air mata sehingga semua peziarah tidak mampu menahan diri untuk tidak menangis.

Wahai Rasulullah SAW, kami datang menziarahi pusaramu sebagai pengobat rasa cinta dan rindu kami, semoga kami yang hadir di samping pusaramu dimasukkan oleh Yang Kuasa ke dalam golongan yang engkau untai dalam haditsmu: “anta man ahbabta fil jannah” (Engkau bersama orang yang engkau cintai di surga), amin. Kami begitu mencintaimu ya Rasulallah…


  ••••💮 Allah Menyiapkan Hidangan di Multazam 💮••••

Multazam, tempat yang direbut oleh para jama’ah untuk berdoa kepada Tuhannya. Tempat yang berukuran hanya beberapa hasta antara pojok Hajar Aswad dan pintu Baitil Atiq. Untuk mendapat kesempatan berdiri dan menengadah di sana, dibutuhkan perjuangan dan niat yang tulus dan ikhlas berserah kepada Yang Kuasa.

Sebelum sampai ke tempat sakral itu, rasanya tidak mungkin membelah kerapatan barisan putaran Thawaf  yang penuh dan berjejal. Jangankan dibelah oleh tubuh manusia, oksigen saja terasa sangat sulit untuk merasuk di celah himpitan manusia. Akan tetapi, begitu dapat menginjakkan kaki di tempat yang bernama Multazam, Subhanallah…, ternyata Allah benar-benar menunggu hamba-Nya yang betu-betul mau datang ke sana. Tempat yang begitu sempit dan dari kejauhan terlihat sangat padat, tidak mungkin rasanya bisa melewati barisan massa yang begitu rapat, tetapi nyatanya Multazam itu lowong dan longgar dari gegap gempitanya massa. Allah benar-benar menyiapkan tempat dan waktu buat hambaNya yang mau berkeluh kesah kepada-Nya. Di sini, dapat kita buktikan sebuah firman Allah dalam hadits qudsi:

”Siapa yang mendekat sehasta, aku akan mendekat sejengkal, siapa yang mendekat sambil berjalan, aku mendekatinya dengan berlari. (Hadits Qudsi)

Sesampai di posisi yang mahal dan berharga itu (Multazam), do'a dan permohonan dikalahkan oleh derasnya air mata. Andai air mata itu tidak berarti di mata Allah, sungguh banyak manusia yang tidak mendapatkan ketenangan. Akan tetapi bahasa hamba-Nya yang diwujudkan lewat derai air mata bagi Allah adalah bahasa yang cukup jelas, karena hanya manusia yang hatinya mengeras seperti tembikar yang tidak luluh di tempat mulia itu.

Bagaimana tidak? Seluruh sirah kehidupan kita dan keluarga terkuak dengan terang. Bagaimana kita dari tempat yang amat jauh, bagaimana kita yang tidak bersama anak-anak, bagaimana orang tua yang banting tulang, bagaimana keadaan yang apa adanya—yang pas-pasan menjadi lembaranlembaran non verbal yang memutar keran air mata. Hanya istighfar dan rasa syukur yang terucap sangat jelas, dan sangat sering mewakili rasa dan asa saat itu. Subhanallah wal hamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar wala hawla wala quwata illa billahi‘aliyil ‘azhim.


💦 Merengkuh Bahagia Mencium Baitil Atiq 💦

Haru bercampur bahagia yang tiada tara tatkala mendekat ke Baitil Atiq (Ka’bah). Aromanya yang khas membuat hati berdebar, membuat bulu kuduk merinding. Satu meter akan merapat aroma khas itu sudah tercium.

Begitu tubuh merapat di dinding yang sudah tua itu… Subhanallah…, rasa haru, rasa sedih, rasa bahagia, dan rasa beruntung bercampur menjadi satu yang disimbolkan dengan tangisan. Ada yang menangis meraung-raung, ada yang menggosok-gosokkan tubuhnya, ada yang menciumnya dalamdalam. Sosok bangunan yang sudah lama dikhayalkan, sudah lama wajah ini menghadap ke arahnya, sudah lama rupanya, sudah lama hati ini meraba - raba rupanya sudah lama tangan ini terangkat ke hadapannya. Kini menjadi nyata di hadapan wajah. Rumah tua yang sangat agung itu menebar pesona dan mengeluarkan hipnotis bagi para tamu Allah, sehingga kita tidak merasakan keberadaan diri kita di sana, kita hilang melebur di dindingnya, larut menyublim bersama aroma khasnya. Di sana kita merasa bahwa Allah sangat dekat, dekat sekali.

"Di Ka’bah, kita merasa bahwa Allah sangat dekat, dekat sekali.

Ingin rasanya kita tidak beranjak dari sisi baitil atiq, ingin rasanya kita peluk erat-erat, ingin rasanya kita berlama-lama jika tidak ingat ada kawan yang juga ingin, tidak ingin rasanya melepas wajah apabila sudah menempel. I love Baitil Atiq, kami akan selalu merindukanmu…


••••💮 Terharu Di Hijr Ismail 💮••••

Bangunan lengkung yang menempel di salah satu sisi Baitil Atiq yang dinamai Hijr Ismail menjadi monumen penting untuk mengenang generasi terbaik sepanjang zaman, generasi beriman, generasi sholeh yang menjadi buah hati Ayahandanya yakni Ismail AS.

Untuk sampai di Hijr Ismail itu didahului oleh perjuangan yang amat keras, harus menaklukkan arus gelombang lautan manusia, terutama di mulut pintu Hijr Ismail. Begitu kerasnya arus masuk, pekikan manusia yang terhimpit, terseret, tertahan menjadi kicauan yang menantang para dhuyufullah untuk sabar dan untuk jaga, sehingga bisa sampai di dalam rengkuhan bangunan lengkung itu.

Di sanalah terbayang bagaimana Ismail kecil bermanja-manja dengan Bapak Tauhid, yakni Ibrahim AS, terbayang dialog kasih sayang yang terancam bayang-bayang kematian putra terbaik, terbayang bagaimana Ismail kecil begitu tegar dan dewasa sebelum waktunya, terbayang bagaimana keikhlasan Ismail kecil menerima tawaran yang akan memisahkannya dengan ayahandanya, terbayang bagaimana ayahandanya yang berusaha melawan hatinya sendiri yang bimbang karena pilihan teramat berat untuk harus menyembelih putra semata wayang yang sudah lama ditunggu.

Drama kosmis yang menegangkan itu yang membuat kita sangat sedih membayangkan bagaimana anak-anak yang kita tinggal. Sepontan mulut ini memohon kepada pemilik Baitil Atiq untuk mengawal anak-anak agar menjadi generasi tegar, beriman, bertakwa, ikhlas, dan dewasa seperti Ismail. Do'a-do'a dan pujian serta harapan yang disandarkan buat anak-anak menjadi permintaan khusus sambil meneteskan air mata haru. Sambil membayangkan andai anakanak berada di sini, andai dia ikut mengaminkan do'a yang kita panjatkan. Bayangan mereka terlintas hilir mudik di pelupuk mata yang sembab, semakin menambah keharuan dan menambah terfokusnya do'a buat mereka agar menjadi anak-anak yang tumbuh dan berkembang seperti Ismail AS.


•••💮 Haji: Panggilan Tuhan Semesta 💮•••

Mengamati manusia-manusia pencari Tuhan di sekeliling kita di Tanah Haram, nampak betapa haji ini menghimpun manusia yang tidak datang dengan status sosialnya, namun kehadiran di sana lebih karena ketaatan, karena benar-benar hamba Allah, karena benar-benar panggilan yang Kuasa.

” Jika kehadiran kita di sana berasa karena status sosial: kaya, pejabat, pintar, mampu, agamis, atau status sosial lainnya, maka kita adalah orang yang paling keliru."

Lihatlah betapa banyak orang-orang dari kalangan biasa, lihatlah betapa banyak orang-orang dari kalangan tidak berada, lihatlah betapa banyak orang-orang dari kalangan tidak berpendidikan, lihatlah betapa banyak orang-orang dari kalangan tidak bisa membaca, tidak bisa mengaji, tidak gagah, tidak pernah ke mana-mana, tidak pernah naik pesawat sebelumnya, tidak pernah ke luar kampung. Bahkan tidak sedikit kita saksikan orang-orang yang sedang menderita sakit, yang tidak kuat berjalan jauh, yang tidak kuat thawaf, sampai kepada yang tersesat (tidak tahu jalan).

Tetapi mereka ada dan nyata di sekeliling kita menatap Masjidil Haram dan Baitil Atiq dengan lugu, polos, dan kosong. Mereka bersama-sama dengan kita satu pergulatan dalam mencari dan menemui Tuhan Rabbul ‘Alamin.

Di sanalah kita baru menyadari bahwa kehadiran di Tanah Haram itu hanya karena Allah yang mau, bukan karena harta, bukan karena uang, bukan karena ilmu, bukan karena kita luar biasa, bukan karena tahta dan jabatan. Ternyata Tuhan tidak melihat kepantasan dari status sosial, tetapi kita berada di sana hanya karena kita hamba-Nya yang tidak ada apa-apanya di hadapan Tuhan.


•••💮 Wukuf : Cukup 5 Jam Allah Mengenal Hambanya 💮•••

Tanggal 8 Dzulhijjah, para dhuyufullah  yang berjuta-juta itu mulai merayap menuju satu titik, yakni Arafah. Andai gerakan manusia itu dapat kita saksikan dari atas angkasa, barangkali seperti laron yang menuju secercah cahaya lilin atau seperti para roh menuju kematiannya. Tidak ada perhatian yang lain selain menuju satu titik itu, karena memang titik itulah yang menjadi inti penantian para dhuyufullah.

Sesampai di lapangan yang luas itu, kekeringan padang pasir yang menjadi pemandangan setiap hari, tertutup rapat oleh tenda-tenda musafir yang sengaja ditata untuk berkonsentrasinya para dhuyufullah. Saatnya kita menyisir tenda-tenda yang menjadi tempat yang tepat. Di dalam tenda dengan pakaian ihram putih-putih kita dihimpun dan dijinakkan untuk fokus.

Tepat tanggal 9 Dzulhijjah di siang hari yang terik itulah para hujjaj mulai menjadi hamba-Nya yang patuh. Semua larangan terhindarkan, semua aturan tertaati, semua pedoman terbacakan, semua peringatan memiliki manfaat. Tibalah waktu yang sakral itu, waktu yang tidak lebih 5 jam dalam seluruh usia manusia, Allah menghendaki kita untuk jenak, untuk patuh, dan hanya untuk Dia. Subhanallah… Hanya 5 jam cukup bagi Allah untuk tahu siapa kita yang sebenarnya.

Allah tidak meminta yang muluk-muluk, cukup bagi Allah bahwa kita mengakui kelemahan dan kealpaan diri yang sesungguhnya melalui istighfar, membaca al-Quran, membaca amalan-amalan, berdoa, dan merenungi diri ke belakang.

Walau demikian, ternyata waktu 5 jam itu terlihat jelas siapa kita yang sebenarnya. Tabarakallahu ahsanul kholiqin.

Andai Tuhan meminta waktu kepada kita lebih dari itu, sehari penuh atau mungkin dua hari saja… Maka Allah pasti akan menyaksikan bahwa kita semua tidak pantas menjadi hamba-Nya yang dibanggakan. Astagh- firullahal azhim…


•••🏵 Wukuf : Wisuda Bagi Para Hujjaj 🏵•••

Dalam salah satu hadits Rasulullah SAW. bersabda “Al-Hajju Arafah”  (Haji itu adalah kualitas kehadiran di Arafah). Hadits ini cukup pendek, namun mengandung makna yang cukup mendalam terutama bagi para pelaku haji. Waktu di Arafah hanya setengah hari dengan aktivitas yang khas “Mengenal diri sendiri”. Mengapa mengenal diri menjadi penting saat berada di Arafah?

Selama ini kita memang tidak pernah membaca diri secara khusus, menyediakan waktu khusus, bersedia secara ikhlas membaca diri, dan sebagainya. Di tempat inilah Allah menunggu hamba-Nya yang secara sadar mau dan melakukan aktivitas mengenal dirinya dengan ikhlas.

Begitu tinggi nilainya mengenal diri itu, dalam salah satu hadits qudsi disebutkan bahwa Allah berfirman:

” Lihatlah hamba-Ku di Arafah yang lesu dan berdebu. Mereka datang ke sini dari penjuru dunia. Mereka datang memohon rahmat-Ku sekalipun mereka tidak melihat-Ku. Mereka minta perlindungan dari azab-Ku, sekalipun mereka tidak melihat Aku."

Allah sangat memuliakan hari wuquf di Arafah. Hari itu, Allah mendekat sedekatdekatnya kepada orang-orang yang wuquf di Arafah untuk mendengarkan ungkapan dan keluhan hati kita, menatap dari dekat wajah dan perilaku kita. Nabi Muhammad SAW. bersabda :

” . . . Dia (Allah) mendekat kepada orang-orang yang di Arafah. Dengan bangga Dia bertanya kepada para malaikat, “Apa yang diinginkan oleh orang-orang yang sedang wuquf itu”?

Dalam satu riwayat bahwa Allah berjanji di hadapan para Malaikat, bahwa apapun yang diminta oleh para hujjaj di Arafah, Allah akan mengabulkannya. Subhanallah, begitu tinggi nilai kehadiran dhuyufullah di Arafah.

Itulah sebabnya bahwa wuquf adalah puncak dari pelaksanaan ibadah haji untuk satu kegiatan yang paling sakral yakni memahami dan menyadari akan pentingnya “berhenti sejenak” sambil bermakrifat diri untuk dapat merasakan kehadiran Allah SWT dalam kehidupan kita.

Wuquf sebagai lambang miniatur Mahsyar di Akhirat nanti, sesungguhnya memberi kesadaran kepada para hujjaj akan pentingnya introspeksi diri, pengenalan jati diri dan yang lebih penting lagi adalah “pengadilan” terhadap diri sendiri, yang mungkin selama ini kita cenderung hanya mengadili orang lain atau bahkan tidak pernah berbuat adil.

Untuk dapat meraih kesadaran tersebut hanya dibutuhkan bekal ketakwaan. Itulah sebabnya dalam proses pelaksanaan ibadah haji, Allah hanya berpesan bahwa bekal terbaik adalah takwa.

Wuquf adalah momentum yang tepat untuk mengambil keputusan yang arif dan bijaksana; Apakah selama ini kita yang berwuquf sudah benar-benar menjadi hamba Allah ataukah masih menjadi hamba-hamba selain Allah?. Apakah kita yang berwuquf itu sudah meneladani akhlak Allah atau masih selalu mengikuti hawa nafsu?

Setelah kita renungkan prosesi wuquf, dapat kita pahami bahwa ritual itu sesungguhnya menjadi wisuda bagi Muslimin dan Muslimat yang menjadi tamu Allah. Di tempat wuquf para hujjaj diwisuda (dikukuhkan) oleh Allah sesuai situasi dan kondisi hati, pikiran, prilaku dan perasaan para hujjaj saat itu. Persis seperti pengukuhan seorang sarjana atau guru besar sesuai keahlian yang ditekuninya. Bedanya; Pengukuhan bagi para alumni lembaga pendidikan berorientasi keilmuan, sementara pengukuhan bagi alumni Arafah berorientasi Karakter.

Jika para hujjaj sedang dalam kondisi hati dan pikiran yang sumpek, risih, menggerutu, dan mengumpat-umpat, maka yakinlah Allah mengukuhkannya dengan karakter seperti itu—sepulang berhaji mereka akan suka mengumpat, menggerutu, rishi, dan sebagainya.

Jika para hujjaj saat berada di Arafah dalam kondisi hati dan pikiran yang membual, menggunjing dan menyindir, maka Allah mengukuhkannya dengan karakter seperti itu—sepulang berhaji akan selalu menggunjing dan menyakiti sesamanya. Jika para hujjaj saat hadir di Arafah dalam situasi dan kondisi ridho, ikhlas, dan taat kepada Allah, maka para hujjaj akan dikukuhkan dengan sikap dan karakter yang mencerminkan ketaatan dan ketawadhuan kepada Allah Rabbul Alamin setelah kembali.

Itulah makna dari “Al-Hajju ‘Arafah” Haji itu adalah bagaimana situasi dan kondisi para jamaah saat hadir di padang Arafah.

No comments:

Post a Comment