🍨 Tiga Dimensi Kemabruran Haji 🍨
Dalam melaksanakan ibadah haji, mabrur adalah satu-satunya harapan semua hujjaj, yakni hajinya menjadi haji yang diterima oleh Allah yang membawa berkah untuk seluruh makhluk. Itu akan dapat dilihat dan dirasakan sekembali dari menunaikan ibadah yang ditandai oleh adanya perubahan perilaku.
Berbagai ritual haji harus dilaksanakan dengan serius dan sungguh-sungguh untuk meraih predikat mabrur, dan kemabruran haji akan tersempurnakan manakala aktivitas ketaatan dan kesolehan saat di Haramain dan terutama di Arafah teraplikasi di tanah air, sekembali dari menunaikan ibadah haji.
Kemabruran yang dimaksud di atas bagi para hujjaj sebagai buah dari ritual di Arafah dan Haramain akan dapat dilihat dari tiga indikasi: Pertama , diterima amalannya oleh Allah yang dicirikan dengan adanya perubahan positif dalam rutinitas ibadahnya, perubahan positif dalam ketaatan, dan perubahan positif dalam disiplin ibadahnya.
Kedua, diterima oleh sesama manusia yang ditandai dengan perubahan perilaku sosial yang membuat orang di sekitarnya tidak tersakiti, baik fisik maupun psikis. Hubungan sosial dan perilaku sosial semakin baik, dan komunikasi sosial semakin arif dan bijaksana.
Ketiga , diterima oleh diri para hujjaj sendiri yang ditandai dengan tidak menggunjing perilaku dan sikap orang lain yang disaksikannya selama di Tanah Haram, tidak membandingkan nilai dan volume ibadahnya dengan ibadah orang lain, tidak merasa ibadahnya jelek maupun paling bagus dibanding ibadah orang lain.
"Inti dari mabrur itu adalah telah nampak keikhlasan didalam beribadah kepada Allah yang ditandai dengan sikap tawaddhu’ dan rendah hati."
🍹Arafah : Replika Hari Akhir 127864🍹
Wuquf dengan pakaian ihram berwarna putih yang melekat selama prosesi di Arafah mengingatkan kita semua pada satu titik akhir dari kehidupan manusia, yakni kematian.
Bagaimana tidak? Pada saat itu kita telah diwajibkan mengenakan pakaian kematian, dan begitu sampai di Arafah seluas mata memandang kita saksikan jutaan manusia yang berhamburan dengan pakaian serba putih, persis seperti baru dibangkitkan dari kubur dengan nuansa bimbang dan cemas mencari kenyamanan sambil kebingungan setelah bangkit dari tidur yang panjang.
Setelah itu para hujjaj memasuki tenda masing-masing seperti proses pemisahan manusia berdasarkan keputusan dari amal perbuatan yang didapatkan dari Hakim Yang Maha Kuasa.
Di dalam tenda masing-masing para hujjaj berdiam, merenung, membaca diri, dan menunggu kepastian keputusan berikutnya. Dalam berdiam itulah kita melihat berbagai macam situasi manusia, ada yang resah, ada yang kepanasan, ada yang bimbang, ada yang nyenyak dalam istirahatnya, ada yang tawadhu’, ada yang beristigfar, ada yang khidmat, dan sebagainya. Begitulah kira-kira gambaran manusia di hari penantiannya. Menanti kepastian nasib dari pengadilan Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Obyektif.
Dalam melaksanakan ibadah haji, mabrur adalah satu-satunya harapan semua hujjaj, yakni hajinya menjadi haji yang diterima oleh Allah yang membawa berkah untuk seluruh makhluk. Itu akan dapat dilihat dan dirasakan sekembali dari menunaikan ibadah yang ditandai oleh adanya perubahan perilaku.
Berbagai ritual haji harus dilaksanakan dengan serius dan sungguh-sungguh untuk meraih predikat mabrur, dan kemabruran haji akan tersempurnakan manakala aktivitas ketaatan dan kesolehan saat di Haramain dan terutama di Arafah teraplikasi di tanah air, sekembali dari menunaikan ibadah haji.
Kemabruran yang dimaksud di atas bagi para hujjaj sebagai buah dari ritual di Arafah dan Haramain akan dapat dilihat dari tiga indikasi: Pertama , diterima amalannya oleh Allah yang dicirikan dengan adanya perubahan positif dalam rutinitas ibadahnya, perubahan positif dalam ketaatan, dan perubahan positif dalam disiplin ibadahnya.
Kedua, diterima oleh sesama manusia yang ditandai dengan perubahan perilaku sosial yang membuat orang di sekitarnya tidak tersakiti, baik fisik maupun psikis. Hubungan sosial dan perilaku sosial semakin baik, dan komunikasi sosial semakin arif dan bijaksana.
Ketiga , diterima oleh diri para hujjaj sendiri yang ditandai dengan tidak menggunjing perilaku dan sikap orang lain yang disaksikannya selama di Tanah Haram, tidak membandingkan nilai dan volume ibadahnya dengan ibadah orang lain, tidak merasa ibadahnya jelek maupun paling bagus dibanding ibadah orang lain.
"Inti dari mabrur itu adalah telah nampak keikhlasan didalam beribadah kepada Allah yang ditandai dengan sikap tawaddhu’ dan rendah hati."
🍹Arafah : Replika Hari Akhir 127864🍹
Wuquf dengan pakaian ihram berwarna putih yang melekat selama prosesi di Arafah mengingatkan kita semua pada satu titik akhir dari kehidupan manusia, yakni kematian.
Bagaimana tidak? Pada saat itu kita telah diwajibkan mengenakan pakaian kematian, dan begitu sampai di Arafah seluas mata memandang kita saksikan jutaan manusia yang berhamburan dengan pakaian serba putih, persis seperti baru dibangkitkan dari kubur dengan nuansa bimbang dan cemas mencari kenyamanan sambil kebingungan setelah bangkit dari tidur yang panjang.
Setelah itu para hujjaj memasuki tenda masing-masing seperti proses pemisahan manusia berdasarkan keputusan dari amal perbuatan yang didapatkan dari Hakim Yang Maha Kuasa.
Di dalam tenda masing-masing para hujjaj berdiam, merenung, membaca diri, dan menunggu kepastian keputusan berikutnya. Dalam berdiam itulah kita melihat berbagai macam situasi manusia, ada yang resah, ada yang kepanasan, ada yang bimbang, ada yang nyenyak dalam istirahatnya, ada yang tawadhu’, ada yang beristigfar, ada yang khidmat, dan sebagainya. Begitulah kira-kira gambaran manusia di hari penantiannya. Menanti kepastian nasib dari pengadilan Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Obyektif.